dengan menyebut nama allah yang maha pengasih lagi maha penyayang
Diberdayakan oleh Blogger.

Sabtu, 06 Oktober 2012

Sejarah dan Dakwah Nabi Muhammad SAW - Desentraliasasi Pendidikan Agama Islam Kelas X


Dakwah adalah kegiatan yang bersifat menyeru, mengajak dan memanggil orang untuk beriman dan taat kepada Allah SWT sesuai dengan garis aqidah, syari'at dan akhlak Islam. Peristiwa hijrah Nabi Muhammad SAW ini terjadi pada 12 Rabi`ul Awwal tahun pertama Hijrah, yang bertepatan dengan 28 Juni 621 Masehi. Hijrah adalah sebuah peristiwa pindahnya Nabi Muhammad Saw dari Mekkah ke Madinah atas perintah Allah, untuk memperluas wilayah penyebaran Islam dan demi kemajuan Islam itu sendiri.

Adab Berhias dan Bepergian Dalam Islam - Desentralisasi Pendidikan Agama Islam Kelas X


  A.   ADAB BERPAKAIAN
Islam melarang umatnya berpakaian terlalu tipis atau ketat (sempit sehingga membentuk tubuhnya yang asli). Kendati pun fungsi utama (sebagai penutup aurat) telah dipenuhi, namun apabila pakaian tersebut dibuat secara ketat (sempit) maka hal itu dilarang oleh Islam. Demikian juga halnya pakaian yang terlalu tipis. Pakaian yang ketat akan menampilkan bentuk tubuh pemakainya, sedangkan pakaian yang terlalu tipis akan menampakkan warna kulit pemakainya. Kedua cara tersebut dilarang oleh Islam karena hanya akan menarik perhatian dan menggugah nafsu syahwat bagi lawan jenisnya.



Ada tiga macam fungsi pakaian, yakni sebagai penutup aurat, untuk menjaga kesehatan, dan untuk keindahan. Tuntunan Islam mengandung didikan moral yang tinggi. Dalam masalah aurat, Islam telah menetapkan bahwa aurat lelaki adalah antara pusar samapi kedua lutut. Sedangkan bagi perempuan adalah seluruh tubuh kecuali muka dan telapak tangan.
Adab berpakaian adalah sebagai berikut :

1.  Pakaian harus menutupi aurat.
2.  Pakaian harus bersih dan rapi
3.  Untuk laki-laki, agar memakai pakaian yang panjang sampai menutupi aurat
4.  Sedangkan wanita, harus menggunakan pakaian yang menutupi anggota tubuhnya keculai wajah dan kedua telapak tangan
5.  Para lelaki muslim, haram hukumnya menggunakan sutra dan emas. oleh karena itu, dilarang bagi lelaki muslim untuk menggunakan barang-barang diatas.sebagaimana sabda Rasulullah bersabda:
"Sesungguhnya dua benda ini (emas dan sutera) haram atas lelaki
ummatku." (H.R.Abu Daud)
6.  Dalam islam tidak diperkenankan lelaki memakai pakaian wanita dan sebaliknya. karena hal ini dapat menyebabkan "tassabuh"
7.  Dalam ajaran islam, hukumnya sunat memakai pakaian dengan diawali bagian kanan
8.  Tidak diperkenankan memakai pakaian yang mewah
9.  Lebih mengutamakan pakaian yang berwarna putih
10. Hendaklah berpakaian yang rapi dan sopan

B.   ADAB BERHIAS
Pada hakikatnya Islam mencintai keindahan selama keindahan tersebut masih berada dalam batasan yang wajar dan tidak bertentangan dengan norma-norma agama.

Beberapa ketentuan agama dalam masalah berhias ini antara lain sebagai berikut:

a.        Laki-laki dilarang memakai cincin ema
Sebagaimana larangan yang ditujukan oleh Rasulullah SAW terhadap Ali r.a

b.      Jangan bertato dan mengikir gigi
Pada zaman jahiliyah banyak wanita Arab yang menato sebagian besar tubuhnya, muka dan tangannya dengan warna biru dalam bentuk ukiran. Pada zaman sekarang ini (khususnya di lingkungan masyrakat kita) bertato banyak dilakukan oleh kaum lelaki. Dengan bertato ini, mereka merasa mempunyai kelebihan dari orang lain.

c.       Jangan menyambung rambut
Selain hadits yang tersebut didepan (dalam hal menyambung rambut) terdapat pula riwayat sebagai berikut:

Artinya: “Seorang perempuan bertanya kepada nabi SAW: Ya Rasulullah, sesunguhnya anak saya tertimpa suatu penyakit sehingga rontok rambutnya, dan saya ingin menikahkan dia. Apakah boleh saya menyambung rambutnya?. Rasulullah menjawab: Allah melaknat perempuan yang melaknat perempuan yang melaknat rambutnya.” (HR Bukhari)

d.       Jangan berlebih-lebihan dalam berhias
Berlebih lebihan ialah melewati datas yang wajar dalam menikmati yang halal. Berhias secara berlebih-lebiha cenderung kepada sombong dan bermegah-megahan yang sangat tercela dalam Islam.

 C.   ADAB BERPERGIAN
Sebagai muslim, tidaklah dilarang bepergian meninggalkan rumah untuk tujuan baik sserta pada jalan yang benar sesuaidengan yang telah di contohkan oleh Rasulullah SAW. Orang bepergian hendaknya memiliki tujuan yang pasti, hal ini yang di dalam islam adalah termasuk tabzir.
Beberapa hal yang perlu di perhatikan terkait dengan bepergian di antaranya sebagai berikut:
1.       Rencanakan tempat dan hal apa saja yang di perlukan selama di perjalanan.
2.       Bersihkan urusan rumah, segalanya harus di kunci maupun pintu ataupun jendela serta periksa air dan kompor apabila sebelumnya telah digunakan apakah sudah mati apa belum.
3.       Memberi tahu kepada tetangga terdekat agar tidak terjadi apa-apa terhadap rumah kita.
4.       Jangan lupa sebelum bepergian membaca do’a dan berharap agar di jalan tidak terjadi apa-apa.

 D.   ADAB BERTAMU
Bertamu adalah salah satu cara untuk menyambung tali persahabatan yang dianjurkan oleh Islam. Islam memberi kebebasan untuk umatnya dalam bertamu. Tata krama dalam bertamu harus tetap dijaga agar tujuan bertamu itu dapat tercapai. Apabila tata krama ini dilanggar maka tujuan bertamu itu justru akan menjadi rusak, yakni merenggangnya hubungan persaudaran.. Islam telah memberi bimbingan dalam bertamu, yaitu jangan bertamu pada tiga waktu aurat.

Yang dimaksud dengan tiga waktu aurat ialah sehabis zuhur, sesudah isya’, dan sebelum subuh. Allah SWT berfirman:

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, hendaklah budak-budak (lelaki dan wanita) yang kamu miliki, dan orang-orang yang belum balig di antara kamu, meminta izin kepada kamu tiga kali (dalam satu hari) yaitu: sebelum sembahyang subuh, ketika kamu menanggalkan pakaian (luar)mu di tengah hari dan sesudah sembahyang Isya’. (Itulah) tiga ‘aurat bagi kamu. Tidak ada dosa atasmu dan tidak (pula) atas mereka selain dari (tiga waktu) itu. Mereka melayani kamu, sebahagian kamu (ada keperluan) kepada sebahagian (yang lain). Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat bagi kamu. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (QS An Nur : 58)

Ketiga waktu tersebut dikatakan sebagai waktu aurat karena waktu-waktu itu biasanya digunakan. Lazimnya, orang yang beristirahat hanya mengenakan pakaian yang sederhana (karena panas misalnya) sehingga sebagian dari auratnya terbuka. Apabila budak dan anak-anak kecil saja diharuskan meminta izin bila akan masuk ke kamar ayah dan ibunya, apalagi orang lain yang bertamu. Bertamu pada waktu-waktu tersebut tidak mustahil justru akan menyusahkan tuan rumah yang hendak istirahat, karena terpaksa harus berpakaian rapi lagi untuk menerima kedatangan tamunya.
Cara Bertamu yang Baik

1.              Berpakaian yang rapi dan pantas
2.           Memberi isyarat dan salam ketika datang
3.           Jangan mengintip ke dalam rumah
4.           Minta izin masuk maksimal sebanyak tiga kali
5.           Memperkenalkan diri sebelum masuk
6.           Tamu lelaki dilarang masuk kedalam rumah apabila tuan rumah hanya seorang wanita
7.           Masuk dan duduk dengan sopan
8.           Menerima jamuan tuan rumah dengan senang hati
9.           Mulailah makan dengan membaca basmalah dan diakhiri dengan membaca hamdallah
10.       Makanlah dengan tangan kanan, ambilah yang terdekat dan jangan memili
11.       Bersihkan piring, jangan biarkan sisa makanan berceceran
12.       Segeralah pulang setelah selesai urusan


E.   ADAB MENERIMA TAMU

Sebagai agama yang sempurna, Islam juga memberi tuntunan bagi uamtnya dalam menerima tamu. Demikian pentingnya masalah ini (menerima tamu) sehingga Rasulullah SAW menjadikannya sebagai ukuran kesempurnaan iman.
Cara Menerima Tamu yang Baik
1) Berpakaian yang pantas
2) Menerima tamu dengan sikap yang baik
3) Menjamu tamu sesuai kemampuan
4) Tidak perlu mengada-adakan
5) Lama waktu
6) Antarkan sampai ke pintu halaman jika tamu pulang

Adab Bepergian (safar)

Adab Bepergian (safar)

Bepergian suatu hal yang tak dapat dihindari oleh setiap manusia. Baik bepergian untuk mencari rizki, silaturrahim pada keluarga, atau ibadah haji dan umroh. Agar bepergian kita lebih bermakna dan memiliki pahala yang mulia di sisi Allah swt, maka kita dianjurkan melakukan adab-adabnya, yaitu:
Pertama: Istikharah. Sangat dianjurkan bagi setiap muslim yang akan bepergian, terutama untuk haji atau umrah, melakukan Istikharah. Doa yang paling utama dibaca dalam Istikharah adalah:

اَسْتَخِيْرُ اللهَ بِرَحْمَتِهِ خِيَرَةً فِي عَافِيَةٍ

Astakhîrullâha bi rahmatihi khiyaratan fî ‘âfiyatin.
Aku memohon pilihan kepada Allah dengan rahmat-Nya pilihan dalam keselamatan.
dibaca 3 kali, 7 kali, 10 kali, 50 kali, 70, atau 100 kali.
Kedua: Memilih Waktu. Waktu yang baik untuk bepergian: hari Sabtu, Selasa, atau Kamis. Hari yang tidak baik untuk bepergian: Hari Senin,Rabu, dan hari Jum’at sebelum shalat Jum’at. Demikian juga tidak baik untuk bepergian pada tanggal: 3, 4, dan 5 bulan Hijriyah. Jika terpaksa harus melakukan bepergian pada hari-hari atau tanggal yang tidak baik atau na’as itu, maka hendaknya bersedekah dan membaca Surat Fatihah, Surat Falaq dan An-Nas, ayat Kursi, Surat Al-Qadar, dan Surat Ali-Imran dari kalimat: “Inna fi khalqis samawati wal ardhi, hingga akhir Surat.”
Ketiga: Washiyat. Dianjurkan untuk setiap orang yang akan bepergian, terutama untuk haji, agar menyampaikan wasiat kepada keluarganya. Wasiat itu bisa berkenaan dengan urusan yang harus dilakukan, kewajiban, atau utang piutang. Ia juga dapat menyampaikan amanat yang harus dilakukan oleh anggota keluarganya.
Keempat: Pemberitahuan. Nabi saw bersabda: “Apabila seorang muslim akan bepergian, ia harus memberitahukan saudara-saudaranya. Begitu pula wajib bagi saudara-saudaranya menemui ketika ia kembali.”
Kelima: Bersedekah. Hendaknya bersedekah sebelum bepergian untuk memperoleh keselamatan dan bersedekah lagi ketika kembali sebagai ungkapan syukur. Setelah bersedekah ucapkan doa ini:

اَللَّهُمَّ اِنِّي اِشْتَرَيْتُ بِهَذِهِ الصَّدَقَةِ سَلاَمَتِي وَسَلاَمَةَ سَفَرِي وَمَامَعِي. اَللَّهُمَّ احْفَظْنِي وَاحْفَظْ مَامَعِي، وَسَلِّمْنِي وَسَلِّمْ مَامَعِي وَبَلِّغْنِي وَبَلِّغْ مَامَعِي بِبَلاَغِكَ الْحَسَنِ الْجَمِيْل

Allâhumma innî isytaraytu bi hâdzi-hish shadaqati salâmatî wa salâmata safarî wamâ ma’î, Allâhumma wahfazhnî wahfazh mâ ma’î wa sallimnî wa sallim mâ ma’î wa ballighnî wa balligh mâ ma’î bi baghikal hasanil jamîl.
Ya Allah, aku membeli dengan sedekah ini keselamatanku dan keselamatan per-jalananku dan apa saja yang bersamaku. Selamatkan aku dan selamatkan yang bersamaku. Sampaikan aku dan yang bersamaku dengan cara penyampaianmu yang indah dan baik.
Keenam: Mandi sunnah dan lakukan shalat Safar dua rakaat. Rakaat pertama, setelah Al-Fatihah baca Surat Al-Ikhlash. Rakaat kedua setelah Al- Fatihah baca Surat Al-Qadar. Setelah shalat, sujudlah lalu baca doa berikut (100 kali):

اَسْتَخِيْرُ اللهَ بِرَحْمَتِهِ خِيَرَةً فِي عَافِيَةٍ

Astakhîrullâha bi-rahmatihi khiyara-tan fî ‘âfiyatin.
Aku memohon pilihan kepada Allah dengan rahmat-Nya pilihan dalam keselamatan.
Kemudian membaca: Ayat Kursi, tahmid, dan shalawat kepada Nabi saw
dan keluarganya. Kemudian membaca doa ini:

اَللَّهُمَّ اِنِّي اَسْتَوْدِعُكَ نَفْسِي وَاَهْلِي وَمَالِي وَذُرِّيَّتِي وَدُنْيَايَ وَآخِرَتِي وَاَمَانَتِي وَخَاتِمَةَ اَعْمَالِي

Allâhumma innî astauwdi`uka nafsî wa ahlî wa mâlî wa dzurriyyatî wa dun-yâya wa âkhiratî wa amânatî wa khâtimata a`malî.
Ya Allah, aku titipkan kepadamu diriku, keluargaku, hartaku, keturunanku, duniaku dan hartaku, amanatku, dan penutup amalku.
Baca juga Surat Al-Fatihah, Al-Falaq, Al-Nas, AL-Qadar, ayat kursi dan akhir surat Ali-Imran dimulai dari Inna fi Khalqis samawati wal ardhi .
Ketujuh: Ketika keluar rumah bacalah: Tasbih Az-Zahra’, Surat Fatihah, ayat Kursi, kemudian baca doa ini:

اَللَّهُمَّ اِلَيْكَ وَجَّهْتُ وَجْهِي، وَعَلَيْكَ خَلَّفْتُ اَهْلِي وَمَالِي وَمَاخَوَّلْتَنِي، وَقَدْ وَثِقْتُ بِكَ فَلاَتُخَيِّبْنِي يَا مَنْ لاَيُخَيِّبُ مَنْ اَرَادَهُ وَلاَيُضَيِّعُ مَنْ حَفِظَهُ. اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَآلِهِ وَاحْفَظْنِي فِيْمَا غِبْتُ عَنْهُ وَلاَتَكِلْنِي اِلَى نَفْسِي يَااَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ

Allâhumma ilayka wajjahtu wajhî, wa ‘alayka khallaftu ahlî wa mâli wamâ khawwaltanî, wa qad wa-tsiqtu bika falâ tukhayyibnî yâ man lâ yukhayyibu man arâdahu walâ yudhayyi’u man hafizhahu. Allâhumma shalli `alâ Muhammadin wa âlihi wahfazhnî fîmâ ghibtu`anhu walâ takilnî ilâ
nafsî yâ Arhamar râhimîn.
Ya Allah, kepada-Mu kuhadapkan wajahku; kepada-Mu kutinggalkan keluargaku, hartaku, dan apa yang telah Kau anugerahkan kepadaku. Sungguh aku mempercayai-Mu, maka jangan kecewakan aku wahai Yang Tidak Mengecewakan orang yang berkendak kepada-Nya, dan Yang Tidak Menyia-nyiakan orang yang dipelihara-Nya. Ya Allah, sampaikan shalawat kepada Muhammad dan keluarganya, dan peliharalah aku selama pepergianku serta jangan serahkan aku kepada diriku wahai Yang Mahakasih dari segala yang mengasihi.
Kedelapan: Ketika mengendarai kendaraan, bacalah doa berikut ini:

سُبْحَانَ الَّذِي سَخَّرَ لَنَا هَذَا وَمَاكُنَّالَهُ مُقْرِنِيْنَ

Subhânalladzî sakhkhara lanâ hâdzâ wamâ kunnâ lahu muqrinîn.
Mahasuci Tuhan yang telah menundukkan semua ini bagi kami padahal kami sebelumnya tidak mampu menguasainya. (Az-Zukhruf: 13).
Kemudian membaca zikir ini:

سُبْحَانَ اللهِ وَالْحَمْدُ للهِ وَلاَ اِلَهَاِلاَّ اللهُ

Subhânallâh wal-hamdulillâh wa lâ ilâha illâh


Adab Bertamu dalam Islam

Adab Bertamu dalam Islam


Di antara kelaziman hidup bermasyarakat adalah budaya saling mengunjungi atau bertamu, yang dikenal dengan isitilah silaturrahmi oleh kebanyakan masyarakat. Walaupun sesungguhnya istilah silaturrahmi itu lebih tepat (dalam syari’at) digunakan khusus untuk berkunjung/ bertamu kepada sanak famili dalam rangka mempererat hubungan kekerabatan.
Namun, bertamu, baik itu kepada sanak kerabat, tetangga, relasi, atau pihak lainnya, bukanlah sekedar budaya semata melainkan termasuk perkara yang dianjurkan di dalam agama Islam yang mulia ini. Karena berkunjung/bertamu merupakan salah satu sarana untuk saling mengenal dan mempererat tali persaudaraan terhadap sesama muslim.

Allah berfirman: “Wahai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kalian dari seorang laki-laki dan perempuan, dan menjadikan kalian berbangsa-bangsa, dan bersuku-suku, supaya kalian saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah adalah orang yang paling bertaqwa.” (Al Hujurat: 13)
Rasulullah bersabda:
إِذَا عَادَ الرَّجُلُ أَخَاهُ أَوْ زَارَهُ ، قَالَ اللهُ لَهُ : طِبْتَ وَطِابَ مَمْشَاكَ وَتَبَوَّأْتَ مَنْزِلاً فِي الْجَنَّةِ
“Bila seseorang mengunjungi saudaranya, maka Allah berkata kepadanya: “Engkau dan perjalananmu itu adalah baik, dan engkau telah menyiapkan suatu tempat tinggal di al jannah (surga).” (Shahih Al Adabul Mufrad no. 345, dari shahabat Abu Hurairah )
Namun yang tidak boleh dilupakan bagi orang yang hendak bertamu adalah mengetahui adab-adab dan tata krama dalam bertamu, dan bagaimana sepantasnya perangai (akhlaq) seorang mukmin dalam bertamu. Karena memiliki dan menjaga perangai (akhlaq) yang baik merupakan tujuan diutusnya Rasulullah , sebagaimana beliau bersabda:
إِنَّمَا بُعِثْتُ ِلأُ تَمِّمَ مَكَارِمَ الأَخْلاَقِ
“Sesungguhnya aku diutus dalam rangka menyempurnakan akhlaq (manusia).”
Oleh karena itu, pada kajian kali ini, akan kami sebutkan beberapa perkara yang hendaknya diperhatikan dalam bertamu. Di antaranya sebagai berikut:

1. Beri’tikad Yang Baik
Di dalam bertamu hendaknya yang paling penting untuk diperhatikan adalah memilki i’tikad dan niat yang baik. Bermula dari i’tikad dan niat yang baik ini akan mendorong kunjungan yang dilakukan itu senantiasa terwarnai dengan rasa kesejukan dan kelembutan kepada pihak yang dikunjungi.
Bahkan bila ia bertamu kepada saudaranya karena semata-mata rasa cinta karena Allah dan bukan untuk tujuan yang lainnya, niscaya Allah akan mencintainya sebagaimana ia mencintai saudaranya. Sebagaimana Rasulullah :
زَارَ رَجُلٌ أَخًا لَهُ فِي قَرْيَةٍ لَهُ فَأَرْصَدَ اللهُ مَلَكًا عَلَى مَدْرَحَتِهِ ، فَقَالَ : أَيْنَ تُرِيْدُ ؟ قَالَ : أَخًا لِي فِي هَذِهِ الْقَرْيَةِ. فَقَالَ : هَلْ لَهُ عَلَيْكَ مِنْ نِعْمَةٍ تَرُبُّهَا ؟ لاَ قَالَ : أُحِبُّهُ فِي اللهِ. قَالَ : فَإِنِّي رَسُولُ اللهِ إِلَيْكَ ، أَنَّ اللهَ أَحَبَّكَ كَمَا أَحْبَبْتَهُ
“Ada seseorang yang berkunjung kepada saudaranya di dalam suatu kampung, maka Allah mengirim malaikat untuk mengawasi arah perjalanannya. Ia (malaikat) bertanya kepadanya: “Mau kemana anda pergi? Ia menjawab: “Kepada saudaraku yang ada di kampung ini. Malaikat berkata: “Apakah dia memiliki nikmat (rizki) yang akan diberikan kepada engkau. Dia menjawab: “Tidak, semata-mata saya mencintainya karena Allah. Malaikat berkata: “Sesungguhnya saya diutus oleh Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah mencintaimu sebagaimana kamu mencintai saudaramu.” (Shahih Al Adabul Mufrad no. 350, Ash Shahihah no. 1044)

2. Tidak Memberatkan Bagi Tuan Rumah
Hendaknya bagi seorang tamu berusaha untuk tidak membuat repot atau menyusahkan tuan rumah, sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah :
لاَ يَحِلُّ لِمُسْلِمٍ أَنْ يُقِيْمَ عِنْدَ أَخِيْهِ حَتَّى يُؤْثِمَهُ. قَالُوا: يَا رَسُولَ اللهِ وَكَيْفَ يُؤْثِمُهُ؟ قَالَ: يُقِيْمُ عِنْدَهُ وَلاَ شَيْءَ لَهُ يَقْرِيهِ بِهِ
“Tidak halal bagi seorang muslim untuk tinggal di tempat saudaranya yang kemudian saudaranya itu terjatuh ke dalam perbuatan dosa. Para shahabat bertanya: “Bagaimana bisa dia menyebabkan saudaranya terjatuh ke dalam perbuatan dosa?” Beliau menjawab: “Dia tinggal di tempat saudaranya, padahal saudaranya tersebut tidak memiliki sesuatu yang bisa disuguhkan kepadanya.” (HR. Muslim)
Al Imam An Nawawi berkata: “Karena keberadaan si tamu yang lebih dari tiga hari itu bisa mengakibatkan tuan rumah terjatuh dalam perbuatan ghibah, atau berniat untuk menyakitinya atau berburuk prasangka (kecuali bila mendapat izin dari tuan rumah).” (Lihat Syarh Shahih Muslim 12/28)
3. Memilih Waktu Berkunjung
Hendaknya bagi orang yang ingin bertamu juga memperhatikan dengan cermat waktu yang tepat untuk bertamu. Karena waktu yang kurang tepat terkadang bisa menimbulkan perasaan yang kurang baik dari tuan rumah bahkan tetangganya.
Dikatakan oleh shahabat Anas :
كَانَ رَسُولُ اللهِ لاَ يَطْرُقُ أَهْلَهُ لَيْلاً وَكَانَ يَأْتِيْهِمْ غُدْوَةً أَوْ عَشِيَّةً
“Rasulullah tidak pernah mengetuk pintu pada keluarganya pada waktu malam. Beliau biasanya datang kepada mereka pada waktu pagi atau sore.” (Muttafaqun ‘Alaihi)
Demikianlah akhlak Nabi , beliau memilih waktu yang tepat untuk mengunjungi keluarganya, lalu bagaimana lagi jika beliau hendak bertamu/mengunjungi orang lain (shahabatnya)? Tentunya kita semua diperintahkan untuk meneladani beliau .

4. Meminta Izin Kepada Tuan Rumah
Hal ini merupakan pengamalan dari perintah Allah di dalam firman-Nya (artinya): “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah yang bukan rumahmu sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya. Yang demikian itu lebih baik bagimu agar kamu selalu ingat.” (An Nur: 27)
Di dalam ayat tersebut, Allah memberikan bimbingan kepada kaum mukminin untuk tidak memasuki rumah orang lain tanpa seizin penghuninya. Di antara hikmah yang terkandung di dalamnya adalah:
Untuk menjaga pandangan mata. Rasulullah bersabda:
إِنَّمَاجُعِلَ اْلاسْتِئْذَانُ مِنْ أَجْلِ الْبَصَرِ
“Meminta izin itu dijadikan suatu kewajiban karena untuk menjaga pandangan mata.” (Muttafaqun ‘Alaihi)
Rumah itu seperti penutup aurat bagi segala sesuatu yang ada di dalamnya sebagaimana pakaian itu sebagai penutup aurat bagi tubuh. Jika seorang tamu meminta izin kepada penghuni rumah terlebih dahulu, maka ada kesempatan bagi penghuni rumah untuk mempersiapkan kondisi di dalam rumahnya tersebut. Sehingga tidaklah dibenarkan ia melihat ke dalam rumah melalui suatu celah atau jendela untuk mengetahui ada atau tidaknya tuan rumah sebelum dipersilahkan masuk.
Di antara mudharat yang timbul jika seseorang tidak minta izin kepada penghuni rumah adalah bahwa hal itu akan menimbulkan kecurigaan dari tuan rumah, bahkan bisa-bisa dia dituduh sebagai pencuri, perampok, atau yang semisalnya, karena masuk rumah orang lain secara diam-diam merupakan tanda kejelekan. Oleh karena itulah Allah melarang kaum mukminin untuk memasuki rumah orang lain tanpa seizin penghuninya. (Taisirul Karimir Rahman, Asy Syaikh Abdurrahman As Sa’di)

Bagaimana Tata Cara Meminta Izin?
Para pembaca, dalam masalah meminta izin Rasulullah telah memberikan sekian petunjuk dan bimbingan kepada umatnya, di antaranya adalah:
a. Mengucapkan salam
Diperintahkan untuk mengucapkan salam terlebih dahulu, sebagaimana ayat di atas (An Nur: 27).
Pernah salah seorang shahabat beliau dari Bani ‘Amir meminta izin kepada Rasulullah yang ketika itu beliau sedang berada di rumahnya. Orang tersebut mengatakan: “Bolehkah saya masuk?” Maka Rasulullah pun memerintahkan pembantunya dengan sabdanya:
اخْرُجْ إِلَى هَذَا فَعَلِّمْهُ الاسْتِئْذَانَ ، فَقُلْ لَهُ: السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ أَأَدْخُلُ ؟
“Keluarlah, ajari orang ini tata cara meminta izin, katakan kepadanya: Assalamu ‘alaikum, bolehklah saya masuk?
Sabda Rasulullah tersebut didengar oleh orang tadi, maka dia mengatakan:
السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ أَأَدْخُلُ؟
Akhirnya Nabi pun mempersilahkannya untuk masuk rumah beliau. (HR. Abu Dawud)
Lihatlah wahai pembaca, perkataan “Bolehkah saya masuk” atau yang semisalnya saja belum cukup. Bahkan Nabi memerintahkan untuk mengucapkan salam terlebih dulu.
Bahkan mengucapkan salam ketika bertamu juga merupakan adab yang pernah dicontohkan oleh para malaikat (yang menjelma sebagai tamu) yang datang kepada Nabi Ibrahim u sebagaimana yang disebutkan oleh Allah di dalam firman-Nya (artinya): “Ketika mereka masuk ke tempatnya lalu mengucapkan salam.” (Adz Dzariyat: 25)
b. Meminta izin sebanyak tiga kali
Rasulullah bersabda:
الاسْتِئْذَانُ ثَلاَثٌ، فَإِنْ أُذِنَ لَكَ وَإِلاَّ فَارْجِعْ
“Meminta izin itu tiga kali, apabila diizinkan, maka masuklah, jika tidak, maka kembalilah.” (Muttafaqun ‘Alaihi)
Hadits tersebut memberikan bimbingan kepada kita bahwa batasan akhir meminta izin itu tiga kali. Jika penghuni rumah mempersilahkan masuk maka masuklah, jika tidak maka kembalilah. Dan itu bukan merupakan suatu aib bagi penghuni rumah tersebut atau celaan bagi orang yang hendak bertamu, jika alasan penolakan itu dibenarkan oleh syari’at. Bahkan hal itu merupakan penerapan dari firman Allah (artinya): “Jika kamu tidak menemui seorang pun di dalamnya, maka janganlah kamu masuk sebelum kamu mendapat izin. Dan jika dikatakan kepadamu: “Kembalilah, maka hendaklah kamu kembali. Itu lebih bersih bagimu dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (An Nur: 28)

5. Mengenalkan Identitas Diri
Ketika Rasulullah menceritakan tentang kisah Isra’ Mi’raj, beliau bersabda: “Kemudian Jibril naik ke langit dunia dan meminta izin untuk dibukakan pintu langit. Jibril ditanya: “Siapa anda?” Jibril menjawab: “Jibril.” Kemudian ditanya lagi: “Siapa yang bersama anda?” Jibril menjawab: “Muhammad.” Kemudian Jibril naik ke langit kedua, ketiga, keempat, dan seterusnya di setiap pintu langit, Jibril ditanya: “Siapa anda?” Jibril menjawab: “Jibril.” (Muttafaqun ‘Alaihi)
Sehingga Al Imam An Nawawi rahimahullah dalam kitabnya yang terkenal Riyadhush Shalihin membuat bab khusus, “Bab bahwasanya termasuk sunnah jika seorang yang minta izin (bertamu) ditanya namanya: “Siapa anda?” maka harus dijawab dengan nama atau kunyah (panggilan dengan abu fulan/ ummu fulan) yang sudah dikenal, dan makruh jika hanya menjawab: “Saya” atau yang semisalnya.”
Ummu Hani’, salah seorang shahabiyah Rasulullah mengatakan:”Aku mendatangi Nabi ketika beliau sedang mandi dan Fathimah menutupi beliau. Beliau bersabda: “Siapa ini?” Aku katakan: “Saya Ummu Hani’.” (Muttafaqun ‘Alaihi)
Demikianlah bimbingan Nabi yang langsung dipraktekkan oleh para shahabatnya, bahkan beliau pernah marah kepada salah seorang shahabatnya ketika kurang memperhatikan adab dan tata cara yang telah beliau bimbingkan ini. Sebagaimana dikatakan oleh Jabir :”Aku mendatangi Nabi , kemudian aku mengetuk pintunya, beliau bersabda: “Siapa ini?” Aku menjawab: “Saya.” Maka beliau pun bersabda: “Saya, saya..!!.” Seolah-olah beliau tidak menyukainya.” (Muttafaqun ‘Alaihi)

6. Menyebutkan Keperluannya
Di antara adab seorang tamu adalah menyebutkan urusan atau keperluan dia kepada tuan rumah. Supaya tuan rumah lebih perhatian dan menyiapkan diri ke arah tujuan kujungan tersebut, serta dapat mempertimbangkan dengan waktu/ keperluannya sendiri. Hal ini sebagaimana Allah mengisahkan para malaikat yang bertamu kepada Ibrahim u di dalam Al Qur’an (artinya): “Ibrahim bertanya: Apakah urusanmu wahai para utusan?” Mereka menjawab: “Sesungguhnya kami diutus kepada kaum yang berdosa.” (Adz Dzariyat: 32)

7. Segera Kembali Setelah selesai Urusannya
Termasuk pula adab dalam bertamu adalah segera kembali bila keperluannya telah selesai, supaya tidak mengganggu tua rumah. Sebagaimana penerapan dari kandungan firman Allah : “…tetapi jika kalian diundang maka masuklah, dan bila telah selesai makan kembalilah tanpa memperbanyak percakapan,…” (Al Ahzab: 53)

8. Mendo’akan Tuan Rumah
Hendaknya seorang tamu mendoakan atas jamuan yang diberikan oleh tuan rumah, lebih baik lagi berdo’a sesuai dengan do’a yang telah dituntunkan Nabi , yaitu:
اللَّهُمَّ بَارِكْ لَهُمْ فِيْ مَا رَزَقْتَهُمْ وَ اغْفِرْ لَهُمْ وَ ارْحَمْهُمْ
“Ya Allah…, berikanlah barakah untuk mereka pada apa yang telah Engkau berikan rizki kepada mereka, ampunilah mereka, dan rahmatilah mereka.” (HR. Muslim)
Demikianlah tata cara bertamu, mudah-mudahan pembahasan ini menjadi bekal bagi kita (kaum muslimin) untuk lebih bersik

Mata Pelajaran Aqidah Akhlak

Mata Pelajaran Aqidah Akhlaki


          stilah Aqidah Akhlak terdiri dari dua kata yang masing-masingmempunyai arti sendiri. Menurut Syamsuddin Yahya menjelaskan sebagaiberikut: kata Aqo’id merupakan bentuk jamak dari Aqidah, yang mempunyaiarti kepercayaan. Maksudnya adalah hal-hal yang diyakini oleh orang-orangislam. Artinya mereka menetapkan kebenarannya seperti disebutkan dalamhadits Nabi Muhammad SAW.Sedangkan dalam menjelaskan istilah Akhlak, Djasuri mengemukakansebagai berikut: “Kata Akhlak adalah bentuk jamak dari kata Khuluqun yangberarti budi pekerti, perangai, tingkah laku, atau tabiat”.Dari pengertian diatas dapat dijabarkan bahwa mata pelajaran AqidahAkhlak adalah disiplin ilmu yang mempelajari kepercayaan atau keyakinantentang dasar-dasar ajaran islam sebagai pedoman untuk kebahagiaan hidup didunia dan akhirat.Sedangkan menurut Deparemen Agama Direktorat JendralKelembagaan Agama Islam, pendidikan Aqidah Akhlak adalah upaya sadar dan terencana dalam menyiapkan peserta didik untuk mengenal, menghayatidan mengimani Allah SAW. Dan merealisasikan dalam perilaku akhlak muliadalam kehidupan sehari-hari melalui bimbingan, pengajaran, latihan,penggunaan pengalaman, pembiasaan. Dalam kehidupan masyarakat yangmajemuk dalam bidang kagamaan, pendidikan ini juga diarahkan padapeneguhan aqidah disatu sisi dan peningkatan toleransi serta salingmenghormati dengan penganut agama lain dalam rangka mewujudkankesatuan dan persatuan bangsa.Aqidah Akhlak adalah bagian dari rumpun dari mata pelajaran PAI(Pendidikan Agama Islam) yang memberikan pendidikan, memegang teguhaqidah islam, memahami ajaran agama islam, dan mengamalkan isikandungannya sebagai petunjuk hidup dalam kehidupan sehari-hari denganmenekankan pada keimanan dan penanaman akhlak terpuji, serta menghindariakhlak tercela.Pembelajaran Aqidah Akhlak bertujuan untuk mencetak manusia yangparipurna (Insan Kamil), yaitu manusia yang tidak hanya mementingkankehidupan dunia melainkan juga kehidupan akhirat yang diyakini sebagaitujuan terakhir dalam semua kehidupan.


Kamis, 04 Oktober 2012

Meneladani Akhlak Nabi

(ditulis oleh: al-Ustadz Muhammad Rijal Isnain, Lc.)
Dalam sebuah hadits, Abu Hurairah z meriwayatkan bahwa Rasulullah n bersabda:
إِنَّمَا بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ صَالِحَ الْأَخْلَاقِ
“Sungguh aku diutus menjadi Rasul tidak lain adalah untuk menyempurnakan akhlak yang saleh (baik).”
Pada sebagian riwayat:
لِأُتَمِّمَ مَكَارِمَ الْأَخْلَاقِ
“Untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.”
Islam adalah agama yang penuh keindahan. Ia dibangun di atas akidah tauhid yang bersih dari kesyirikan. Ia membebaskan manusia dari penghambaan kepada makhluk, hingga cinta dan peribadatan hanya untuk Allah Rabbul ‘Alamin. Allah l berfirman:
Katakanlah, “Sesungguhnya shalat, ibadah, hidup dan matiku hanyalah untuk Allah, Rabb semesta alam, tiada sekutu bagi-Nya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah).” (al-An’am: 162—163)
Ibadahnya mudah, tidak membebani. Dengannya jiwa menjadi suci dan dada menjadi lapang. Muamalahnya adil dan jauh dari kezaliman, mewujudkan suasana bantu-membantu di atas takwa dan kebaikan. Demikian pula akhlak yang dibawa oleh Islam adalah akhlak yang agung dan menakjubkan.
Tentang keindahan Islam ini, asy-Syaikh Abdurrahman Nashir as-Sa’di t (wafat tahun 1376 H) mengatakan, “Islam memerintahkan segala amalan kebaikan, akhlak-akhlak mulia, dan seluruh kemaslahatan manusia. Islam mengajarkan keadilan, keutamaan, kasih sayang dan semua kebajikan. Sebaliknya, Islam melarang kezaliman, penyimpangan, dan akhlak-akhlak yang tercela. Tidak ada satu sisi kebaikan pun yang dibawa oleh para nabi dan rasul melainkan syariat Rasulullah n menetapkannya. Demikian pula, tidak ada satu maslahat pun baik duniawi maupun ukhrawi yang diseru oleh syariat nabi-nabi terdahulu melainkan syariat Muhammad n juga menyeru kepadanya. Demikian pula segala kerusakan, syariat Islam melarangnya dan memerintahkan agar dijauhi.” (ad-Durrah al-Mukhtasharah fi Mahasini ad-Dinil Islami)
Keindahan Islam demikian terang. Keagungannya tidak pernah sirna dan padam hingga akhir zaman. Namun, seperti disabdakan Rasulullah n, Islam akan menjadi asing sebagaimana dahulu datang pertama kali. Keindahan itu seolah-olah pudar, tidak lagi dikenal oleh kebanyakan manusia. Sesungguhnya banyak sebab yang melatarbelakangi pudarnya keindahan tersebut pada benak kebanyakan manusia, kecuali sedikit dari orang yang dirahmati oleh Allah l. Ironinya, di antara sebab-sebab itu justru muncul dari tubuh kaum muslimin.
Sebagian firqah (kelompok sempalan) dalam Islam bersikap ekstrem (ghuluw) dalam berdakwah, beramar ma’ruf nahi mungkar. Mereka tidak berlaku hikmah dalam mengingkari kemungkaran, cenderung kepada kekerasan dan perusakan. Bahkan, sebagian mereka sangat mudah memberi vonis kekafiran, seperti yang muncul dari orang-orang yang berpaham Khawarij. Bukan kemungkaran yang hilang, melainkan yang muncul adalah kemungkaran yang lebih besar. Lihatlah misalnya sejarah Khawarij pada masa Utsman bin ‘Affan dan Ali c.1 Bukan kemungkaran yang mereka ingkari, namun kehormatan manusia terbaik saat itu dan persatuan kaum muslimin yang mereka nodai.
Di sisi lain, ada firqah yang meninggalkan penghidupan dunia hingga anak istri pun tidak terurus. Anehnya, mereka berdalih dengan tawakal. Hal ini seperti yang terjadi dalam firqah-firqah yang dibangun di atas akidah Sufi. Mereka meninggalkan ilmu Al-Kitab dan As-Sunnah, amar ma’ruf nahi mungkar, tidak peduli kesyirikan merajalela dengan alasan dakwah tauhid memecah-belah umat. Mereka pun tenggelam dalam kebid’ahan bahkan kesyirikan.
Lalu di manakah Islam yang sesuai dengan kehendak Allah l dan Rasul-Nya? Orang yang tidak mengerti akan bimbang menghadapi kenyataan yang ada, meskipun menara al-haq telah dipancangkan.
Keadaan semakin diperparah oleh propaganda musuh-musuh Islam yang terus berusaha merusak citra Islam dengan berbagai caci-maki dan tuduhan. Bahkan, mereka berusaha mengelabui manusia dengan memasukkan pemikiran sesat melalui institusi-institusi berlabel Islam. Tersebarlah imej bahwa Islam adalah agama yang tidak berakhlak, dakwah Ahlus Sunnah adalah dakwah yang keras dan tidak memiliki hikmah, atau tuduhan-tuduhan senada yang disandangkan kepada agama yang suci dan agung ini.
Kajian hadits berikut kami harapkan bermanfaat bagi kaum muslimin sehingga mereka bisa melihat kembali sebagian keindahan Islam yang dibawa oleh Rasulullah n, kesempurnaannya dan ketinggian akhlak yang beliau n ajarkan. Semoga Allah l membimbing kita untuk kembali pada akhlak Nabi n.
Takhrij Hadits
Hadits di atas diriwayatkan oleh al-Imam Ahmad dalam al-Musnad (2/381), Ibnu Sa’d dalam ath-Thabaqat (1/192), al-Bazzar dalam al-Musnad (no. 2740—Kasyful Astar), ath-Thahawi dalam Syarah Musykilul Atsar (no. 4432), al-Baihaqi dalam as-Sunan (10/191—192) dan Syu’abul Iman (no. 7977 dan 7978), al-Bukhari dalam al-Adabul Mufrad (no. 273) dan at-Tarikhul Kabir (7/188), al-Hakim dalam al-Mustadrak (2/613), al-Qudha’i dalam Musnad asy-Syihab (no. 1165), Ibnu Abi ad-Dunya dalam Makarimul Akhlaq (no. 13), serta Ibnu Abdil Barr dalam at-Tamhid (24/333—334).
Semua meriwayatkan hadits ini melalui jalan Muhammad bin ‘Ajlan, dari al-Qa’qa’ bin Hakim, dari Abu Shalih, dari Abu Hurairah z.
Sebagian meriwayatkan dengan lafadz “shalihal akhlaq” sedangkan yang lainnya dengan lafadz “makarimal akhlaq.”
Hadits di atas adalah sahih, walhamdulillah. Perawi-perawinya tsiqah. Hadits ini juga memiliki syahid (penguat) dari hadits Mu’adz bin Jabal z dalam riwayat al-Bazzar (no. 1973) dan ath-Thabarani (20/120). Demikian juga syahid dari hadits Jabir bin Abdillah z yang diriwayatkan oleh al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman (no. 7979).
Abu Abdillah al-Hakim an-Naisaburi mensahihkan hadits ini dan disepakati oleh adz-Dzahabi. Lihat al-Mustadrak (2/613).
Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani dalam Silsilah ash-Shahihah (1/112) berkata, “Sanad hadits ini hasan … Ibnu Abdil Barr berkata dalam at-Tamhid (24/333—334) bahwa hadits ini shahih muttashil (bersambung sanadnya) hingga Rasul n, melalui jalan-jalan yang sahih dari Abu Hurairah z dan lainnya.”
Fiqih Hadits
Al-Munawi t berkata, “Sabda Rasulullah n ‘innama bu’itstu’ maknanya adalah aku dibangkitkan—yakni diutus menjadi rasul—tidak lain untuk menyempurnakan akhlak yang saleh (baik), karena sebagian riwayat menyebutkan ‘untuk menyempurnakan akhlak yang karimah (mulia)’ (yakni aku diutus untuk menyempurnakannya) yang sebelumnya kurang, dan aku (diutus untuk) mengumpulkan yang sebelumnya tercerai-berai ….” (Lihat Faidhul Qadir, 2/572))
Memaknai hadits Abu Hurairah z di atas, Ibnu Abdil Barr t mengatakan bahwa kebaikan, agama, keutamaan, muru’ah (kemuliaan), ihsan (perbuatan baik), dan keadilan, semuanya tercakup dalam makna hadits ini. Dengan semua kebaikan inilah Rasulullah n diutus untuk menyempurnakannya. (Lihat at-Tamhid lima fil Muwaththa’ minal Ma’ani wal Asanid, 24/332)
Dengan diutusnya Nabi n, Allah l menyempurnakan agama sebagaimana dalam firman-Nya:
“Pada hari ini telah Aku sempurnakan untuk kamu agamamu, telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam sebagai agama bagimu.” (al-Maidah: 3)
Ayat ini merupakan dalil bahwa tidak ada satu kebaikan pun—baik amalan lahir maupun batin, akidah, ibadah, muamalah, maupun akhlak—melainkan telah diterangkan oleh Rasulullah n dengan sempurna. Demikian pula, tidak ada satu kejelekan pun melainkan Rasulullah n telah memperingatkan umat darinya.
Di antara ayat yang juga menunjukkan kesempurnaan Islam—sebagai agama yang mengajarkan semua kemuliaan dan akhlak yang baik, serta melarang segala kemungkaran dan akhlak yang buruk—adalah firman Allah l:
“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebaikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.” (an-Nahl: 90)
Asy-Syaikh Abdurrahman Nashir as-Sa’di t berkata, “Keadilan yang diperintahkan oleh Allah l dalam ayat ini mencakup adil dalam (memenuhi) hak Allah l dan adil dalam hak hamba-hamba-Nya. Adil adalah memenuhi perintah-perintah-Nya yang terkait dengan harta, badan, atau keduanya, baik terkait dengan hak Allah l maupun hak hamba-hamba-Nya. Oleh sebab itu, seorang pemimpin—apakah ia imam (khalifah), qadhi (hakim), atau wakil keduanya—wajib bergaul dengan manusia secara adil yang sempurna dengan menunaikan hak-hak orang yang di bawah tanggung jawabnya … Termasuk keadilan (yang diperintahkan) adalah adil dalam bermuamalah. Maka dari itu, seseorang wajib berlaku adil dalam muamalah jual-beli atau muamalah lainnya, dengan menunaikan semua kewajiban, tidak menahan hak-hak manusia, tidak menipu mereka, tidak mengelabui atau menzaliminya … Jadi, ayat ini mengumpulkan semua perintah dan larangan. Tidak ada satu masalah pun kecuali masuk dalam ayat ini.” (Taisir al-Karimir Rahman secara ringkas, 4/332—333)
Akhlak Rasulullah n
Sebagai Rasul yang diutus untuk menyempurnakan akhlak dan semua kebaikan, beliau n telah memberikan teladan kepada umatnya secara sempurna melalui sabda dan amal perbuatan. Seluruh sisi kehidupan dan ucapan beliau sesungguhnya merupakan teladan akan kesempurnaan akhlak dan kemuliaan amalan. Ketinggian akhlak itu tecermin dalam hadits Aisyah x:
كاَنَ خُلُقُهُ الْقُرْآنَ
“Akhlak Rasulullah n adalah al-Qur’an.” (HR. Muslim)
Bahkan, Allah l memuji akhlak beliau dalam firman-Nya:
“Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.” (al-Qalam: 4)
Membicarakan akhlak Rasul n, ibarat seseorang yang menyeberang lautan tak bertepi, begitu luasnya. Meskipun demikian, marilah sejenak kita menyimak beberapa kisah dalam kehidupan Rasul n bersama umatnya yang dipenuhi keindahan akhlak dan keagungan budi pekerti.
Saudaraku, semoga Allah l merahmati Anda, beliau n adalah sosok yang sangat dekat dengan umatnya, apapun keadaan mereka. Kaya, miskin, bangsawan, atau budak. Beliau bergaul dengan umat dengan penuh kelembutan dan akhlak mulia.
Allah l menyanjung baiknya akhlak Rasul n ini dalam firman-Nya:
“Maka disebabkan oleh rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah-lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu.” (Ali Imran: 159)
Zahir, demikian nama seorang Arab badui. Meski memiliki bentuk dan wajah yang jelek namun Rasul n mencintainya. Zahir biasa datang ke Madinah mengunjungi Rasul n membawa hadiah dari desanya. Rasul n pun membalasnya dengan menyiapkan sesuatu sebelum Zahir pulang ke desa. Rasul n bersabda, “Zahir adalah badui kita, dan kita adalah orang kotanya dia (Zahir).”
Suatu hari Zahir berada di pasar kota Madinah menjual barang dagangan. Tanpa sepengetahuannya, Rasulullah n datang memeluknya dari belakang. Berkatalah Zahir, “Siapa ini? Lepaskan aku!”
Ketika Zahir menoleh, didapatinya ternyata Nabi n yang memeluknya. Ia pun membiarkan tubuhnya tetap bersatu dengan tubuh Rasul n.
Subhanallah, betapa indahnya pemandangan ini. Duhai, seandainya para bangsawan dan orang-orang yang merasa memiliki kemuliaan itu meneladani akhlak Rasul n dalam bergaul dengan saudara-saudaranya seiman meskipun miskin dan papa.
Tiba-tiba Rasul n bergurau dengan mengatakan, “Siapa yang mau membeli hamba ini (yakni Zahir)?”
Zahir segera menimpali, “Ya Rasulullah, berarti aku adalah orang yang tidak berharga?” Rasul n pun berkata, “Tidak demikian, sungguh engkau mahal di sisi Allah.” (Lihat kisah ini dalam asy-Syama’il al-Muhammadiyah karya at-Tirmidzi, disahihkan oleh al-Albani t dalam Mukhtashar asy-Syama’il no. 204)
Beliau n bukan orang yang berperilaku kasar atau berlisan tajam menyakitkan. Beliau n adalah sosok yang sangat lembut dan penuh kasih sayang. Terkadang beliau n bersenda gurau dengan para sahabatnya hingga mereka berkata, “Ya Rasulullah, engkau bersenda gurau dengan kami?” Beliau bersabda, “Ya, (aku bersenda gurau dengan kalian). Hanya saja, aku tidak pernah berkata selain yang benar.” (HR. at-Tirmidzi dalam asy-Syama’il no. 202 dari hadits Abu Hurairah z, disahihkan oleh al-Albani)
Pernah seorang sahabat datang kepada Rasul n meminta hewan tunggangan. Beliau n bersabda, “Kalau begitu sungguh aku akan naikkan engkau pada seekor anak unta!”
Rasulullah n bermaksud memberikan unta yang kuat, tetapi beliau n bahasakan dengan “anak unta” hingga sahabat ini menyangka bahwa “anak unta” yang beliau maksud adalah unta kecil yang tidak memiliki kekuatan. Demikianlah Rasul n bergurau.
Laki-laki ini pun berkata, “Wahai Rasulullah, apa yang bisa kuperbuat dengan anak unta itu?”
Rasulullah n bersabda, “Bukankah semua unta (perkasa) adalah anak dari seekor unta betina?” (HR. al-Bukhari)
Subhanallah. Lihatlah gurauan Rasul n yang menyejukkan dan jauh dari kedustaan. Bukankah sepantasnya kita menyudahi banyak gurauan kita yang dipenuhi kedustaan dan cerita-cerita karangan? Ya Allah, berikan taufik kepada kami untuk mengikuti jalan Nabi-Mu.
Saudaraku, setelah kita melihat beberapa sisi kehidupan Rasulullah n yang diliputi kemuliaan akhlak, sejenak kita simak ucapan-ucapan beliau n tentang akhlakul karimah, yang Allah l utus beliau untuk menyempurnakannya.
Sabda Rasul n tentang Akhlak
Hadits-hadits Nabi n demikian beragam berbicara tentang akhlak. Terkadang berisi perintah dan anjuran untuk berhias dengan akhlak yang terpuji dalam bergaul dengan manusia. Ada kalanya beliau n menyebut besarnya pahala akhlak mulia dan beratnya pahala akhlak dalam timbangan. Pada kesempatan yang lain, beliau n memperingatkan manusia dari akhlak yang buruk dan tercela.
Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash z meriwayatkan bahwa Rasul n pernah bersabda:
إِنَّ مِنْ أَخْيَرِكُمْ أَحْسَنَكُمْ خُلُقًا
“Sesungguhnya yang terbaik di antara kalian adalah yang paling baik akhlaknya.” (HR. al-Bukhari, 10/378 dan Muslim no. 2321)
Dalam hadits lain, Rasul n berpesan kepada Abu Dzar al-Ghifari dan Mu’adz bin Jabal untuk bergaul dengan manusia dengan akhlak yang baik dalam sabda beliau:
اتَّقِ اللهَ حَيْثُ مَا كُنْتَ وَأَتْبِعِ السَّيِّئَةَ الْحَسَنَةَ تَمْحُهَا وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ
“Bertakwalah kamu kepada Allah di mana pun kamu berada. Iringilah kesalahanmu dengan kebaikan, niscaya ia dapat menghapusnya. Dan pergaulilah semua manusia dengan akhlak (budi pekerti) yang baik.”2 (HR. at-Tirmidzi no. 1987, beliau mengatakan, “Hadits ini hasan.” Dalam naskah lainnya dikatakan bahwa hadits ini hasan sahih.
Rasul n mengabarkan pula bahwa akhlak yang baik mampu mengejar amalan ahli ibadah. Dalam sebuah hadits Aisyah Ummul Mukminin berkata, “Aku mendengar Rasulullah n bersabda:
إِنَّ الْمُؤْمِنَ لَيُدْرِكُ بِحُسْنِ خُلُقِهِ دَرَجَةَ الصَّائِمِ الْقَائِمِ
“Sesungguhnya seorang mukmin dengan akhlaknya yang baik akan mencapai derajat orang yang selalu shalat dan berpuasa.” (HR. Abu Dawud no. 4798, disahihkan oleh al-Albani)
Ummu ad-Darda’ x meriwayatkan dari suaminya, Abu ad-Darda’ z, Rasulullah n pernah bersabda:
مَا مِنْ شَيْءٍ أَثْقَلُ فِي الْمِيْزَانِ مِنْ حُسْنِ الْخُلُقِ
“Tidak ada sesuatu yang lebih berat dalam al-mizan (timbangan) daripada akhlak yang baik.” (HR. Abu Dawud no. 4799, disahihkan oleh al-Albani)
Akhlak yang baik adalah sebab seseorang memperoleh derajat yang tinggi di jannah Allah k. Sebaliknya, akhlak yang buruk adalah sebab seseorang terhalangi dari kenikmatan jannah.
Dari Abu Umamah z, dia berkata, Rasulullah n bersabda:
أَنَا زَعِيمٌ بِبَيْتٍ فِي رَبْضِ الْجَنَّةِ لِمَنْ تَرَكَ الْمِرَاءَ وَإِنْ كَانَ مُحِقًّا، وَبِبَيْتٍ فِي وَسْطِ الْجَنَّةِ لِمَنْ تَرَكَ الْكَذِبَ وَإِنْ كَانَ مَازِحاً، وَبِبَيْتٍ فِي أَعْلَى الْجَنَّةِ لَمَنْ حَسَّنَ خُلُقَهُ
“Aku memberikan jaminan dengan sebuah rumah di tepi jannah bagi orang yang meninggalkan perdebatan meskipun ia berhak. Aku juga memberikan jaminan dengan sebuah rumah di tengah jannah bagi yang meninggalkan kedustaan walaupun dalam senda gurau. Aku juga menjanjikan sebuah rumah di jannah tertinggi bagi yang membaguskan akhlaknya.” (HR. Abu Dawud)
Dari al-Haritsah bin Wahb z, ia berkata, Rasulullah n bersabda:
لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةْ الَجوَّاظُ، وَلَا الْجَعْظَرِيُّ
“Tidak akan masuk jannah orang yang kasar dan kaku.” (HR. at-Tirmidzi)
Alhasil, sabda-sabda Nabi n sangat banyak dan beragam dalam mengungkapkan kedudukan akhlakul karimah dan kemuliaannya. Karena pentingnya akhlak, ulama ahlul hadits berusaha mengumpulkan hadits-hadits tersebut dalam kitab-kitab mereka. Al-Bukhari menulis al-Adabul Mufrad, Abu Dawud membuat sebuah kitab tentang adab dalam as-Sunan, at-Tirmidzi membuat kitab al-Birr was-Shilah dalam Sunan-nya. Bahkan, at-Tirmidzi menulis sebuah kitab khusus tentang perikehidupan Rasul n dari segala sisi, yang beliau beri judul asy-Syamail al-Muhammadiyah. Demikian pula yang dilakukan oleh ulama-ulama ahlul hadits lainnya dalam kitab-kitab mereka.
Memohon Akhlak yang Baik dan Berlindung dari Akhlak yang Buruk
Doa adalah sebesar-besar pintu kebaikan karena Allah l telah berjanji akan mengabulkan doa hamba-Nya. Itulah pintu kebaikan yang seharusnya seluruh hamba mengetuknya.
Rasulullah n memberikan teladan kepada umatnya agar berdoa memohon akhlak yang terpuji dan berlindung dari akhlak yang tercela. Dalam sebuah hadits, Ibnu Mas’ud z berkata, Rasulullah n berdoa:
اللَّهُمَّ حَسَّنْتَ خَلْقِي فَحَسِّنْ خُلُقِي
“Ya Allah, sebagaimana Engkau baguskan badanku, perbaikilah akhlakku.” (HR. Ahmad, 1/403, Ibnu Hibban no. 959)
Doa ini bebas, bisa dibaca kapan saja seorang menghendaki dan tidak terikat dengan tempat atau keadaan. Doa ini bukan doa khusus saat bercermin. Memang benar, ada beberapa jalan dari hadits ini yang menjelaskan bahwa doa tersebut dibaca saat bercermin namun jalan-jalan itu sangat lemah.
Asy-Syaikh al-Albani t berkata setelah menyebutkan riwayat-riwayat hadits yang mengkhususkan doa tersebut saat bercermin, “Nyata sudah dari penjelasan yang telah lalu bahwa jalan-jalan ini semuanya lemah. Dan tidak mungkin dikatakan bahwa jalan-jalan itu saling menguatkan karena kelemahannya yang sangat. Oleh karena itu, tidak benar berdalil dengan hadits ini dalam hal disyariatkannya doa ini saat bercermin ….” (Irwa’ul Ghalil, 1/113—115)
Adapun isti’adzah (permohonan perlindungan) yang diajarkan oleh Rasul n disebutkan dalam riwayat berikut. Dari Ziyad bin ‘Ilaqah, dari pamannya3, ia berkata, “Adalah Rasulullah n selalu membaca doa:
اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ مُنْكَرَاتِ الْأَخْلَاقِ وَالْأَعْمَالِ وَالْأَهْوَاءِ
“Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari akhlak-akhlak yang mungkar, dari amalan-amalan yang mungkar, dan dari hawa nafsu yang menyimpang.” (HR. at-Tirmidzi no. 3591, disahihkan oleh al-Albani dalam Shahih Sunan at-Tirmidzi, 3/473)
Hadits ini berisi permohonan perlindungan kepada Allah k dari tiga kemungkaran.
1. Berlindung dari akhlak yang mungkar, karena dari akhlak yang mungkar inilah kejelekan-kejelekan menimpa seseorang.
2. Berlindung dari amalan-amalan yang mungkar, yaitu dosa-dosa dan kemaksiatan.
3. Berlindung dari hawa nafsu yang mungkar.
Sebagian ulama mengatakan bahwa kata “akhlak” dalam hadits ini artinya adalah amalan-amalan batin sedangkan “al-a’mal” adalah amalan-amalan lahir. Jadi, doa di atas isinya adalah meminta perlindungan kepada Allah l dari dosa-dosa yang lahir dan batin. (Lihat Tuhfatul Ahwadzi, 10/50)
Kembali kepada Akhlak Nabi n
Orang-orang yang jujur dalam mencintai Allah l akan meneladani Rasulullah n dalam hal petunjuk dan akhlaknya. Allah l berfirman:
Katakanlah, “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.” Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Ali Imran: 31)
Semoga pembahasan ini bermanfaat bagi kita dan mendorong diri kita untuk berusaha mencari kecintaan Allah l dengan kembali pada akhlak Nabi n. Saya ingin mengatakan sebagaimana yang dikatakan oleh asy-Syaikh al-Albani t dalam Muqaddimah Mukhtashar asy-Syamail al-Muhammadiyah, “Aku berharap dengan tulus kepada Allah l semoga kitab ini4 menjadi bimbingan bagi kaum muslimin untuk mengenal akhlak mulia pada diri Rasul n dan sifat-sifat agung yang beliau berhias dengannya, sehingga membawa mereka untuk mengikuti petunjuknya, berakhlak dengan akhlaknya, dan memetik secercah cahayanya.
Terlebih di zaman yang kaum muslimin hampir-hampir lupa dengan firman Allah l:
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (al-Ahzab: 21)
Apalagi di tengah-tengah muslimin ada dai yang merasa tidak butuh mengikuti Rasulullah n dalam banyak petunjuk dan adabnya, seperti sifat tawadhu dalam berpakaian, makan, minum, tidur, shalat, dan ibadah-ibadah beliau n. Bahkan, ada di antara mereka yang mengajari pengikutnya untuk merasa tidak membutuhkan beberapa petunjuk Rasul n, seperti ajaran Rasul n untuk makan dan minum dengan duduk, serta ajaran beliau untuk mengangkat kain di atas kedua mata kaki.
Mereka menganggap semua itu sebagai bentuk memaksakan diri dan sesuatu yang membuat lari manusia dari Islam. Engkau pun akan mendapati mereka tidak peduli menyeret bajunya menyentuh tanah dengan dalih bahwa ia melakukannya bukan karena sombong! Bahkan, ia berdalil dengan sabda Rasul n kepada Abu Bakr ash-Shiddiq:
لَسْتَ مِمَّنْ يَصْنَعُ خُيَلَاءً
“Engkau bukan termasuk orang yang melakukannya karena sombong.”
Mereka lalai akan perbedaan yang sangat jauh antara Abu Bakr z dan diri mereka. Abu Bakr z tidak menyengaja menjulurkan sebagian bajunya di bawah mata kaki sebagaimana sangat tampak pada ucapan beliau:
إِنَّ أَحَدَ شِقَّيْ إِزَارِي يَسْتَرْخِي
“Sesungguhnya salah satu sisi sarungku melorot (yakni tidak sengaja terjulur di bawah mata kaki, –pen.).”
Adapun mereka menyengaja memanjangkan dan menyeret baju mereka. Mereka juga bodoh atau pura-pura bodoh terhadap sifat (bentuk) baju Nabi n (yang tentu kita yakini sebagai sifat baju yang paling baik dan diridhai Allah l, –pen.) dalam sabda beliau:
هَذَا مَوْضِعُ الْإِزَارِ فَإِنْ أَبَيْتَ فَلَا حَقَّ لِلْإزَارِ فِي الْكَعْبَيْنِ
“Di sinilah (pertengahan betis inilah –al-Albani) batas kain. Jika engkau tidak bisa maka di bawahnya. Jika tidak maka tidak ada hak sedikit pun bagi dua mata kaki (untuk ditutup kain).”
Dalam hadits lain beliau n bersabda:
مَا أَسْفَلَ مِنَ الْكَعْبَيْنِ مِنَ الْإِزَارِ فِي النَّارِ
“Apa yang di bawah dua mata kaki dari kain maka berada di neraka.”
Al-Imam Muslim meriwayatkan dari Ibnu Umar c, beliau berkata, “Suatu saat aku berpapasan dengan Rasul n, sementara kain yang kupakai menurun. Beliau bersabda, ‘Wahai Abdullah, tinggikan kainmu!’ Aku pun menaikkannya. Beliau kembali bersabda, ‘Tambah lagi!’ Aku pun menambahnya. Semenjak itu, aku terus menjaga kainku (di batas yang ditentukan oleh Rasulullah n). Sebagian orang bertanya, “Wahai Ibnu Umar, sampai batas mana (Rasul memerintahkanmu mengangkat kain)?” Ibnu Umar menjawab, “Sampai pertengahan betis.”
Aku (al-Albani, -pen.) mengatakan, “Orang yang seperti Ibnu Umar saja—yang termasuk pemuka sahabat yang mulia dan yang paling bertakwa—Nabi n tidak mendiamkan dengan kainnya yang melorot. Beliau n memerintahkan Ibnu Umar z untuk mengangkatnya. Bukankah ini menunjukkan bahwa adab berpakaian di atas mata kaki tidak (hanya) dikaitkan dengan kesombongan?
(Jika Ibnu Umar z yang jauh dari kesombongan saja ditegur oleh Rasul), sungguh seandainya Rasulullah n melihat sebagian dai itu menyeret-nyeret kainnya pasti beliau mengingkarinya. Mereka tidak akan mampu mengelak dengan ucapan, “Kami tidak menyeretnya karena sombong!” (Tidak mungkin mereka mengelak,) karena Ibnu Umar yang zuhud lebih jujur daripada mereka mengatakan, “Aku tidak melakukannya karena sombong.” Meskipun (Ibnu Umar tidak melakukannya karena sombong), Rasul n tetap mengingkarinya. Ibnu Umar juga bersegera memenuhi seruan Rasul n. Masih adakah hari ini orang yang menerima seruan Rasul n?
“Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat peringatan bagi orang-orang yang mempunyai hati atau yang menggunakan pendengarannya, sedangkan dia menyaksikannya.” (Qaf: 37)(Muqaddimah Mukhtashar asy-Syamail al-Muhammadiyah, hlm. 10—11)
Walhamdulillah Rabbil ‘alamin.

Pengertian Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama'ah

PENGERTIAN ‘AQIDAH AHLUS SUNNAH WAL JAMA’AH

Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas


A. Definisi ‘Aqidah
‘Aqidah (اَلْعَقِيْدَةُ) menurut bahasa Arab (etimologi) berasal dari kata al-‘aqdu (الْعَقْدُ) yang berarti ikatan, at-tautsiiqu(التَّوْثِيْقُ) yang berarti kepercayaan atau keyakinan yang kuat, al-ihkaamu (اْلإِحْكَامُ) yang artinya mengokohkan (menetapkan), dan ar-rabthu biquw-wah (الرَّبْطُ بِقُوَّةٍ) yang berarti mengikat dengan kuat.[1]

Sedangkan menurut istilah (terminologi): ‘aqidah adalah iman yang teguh dan pasti, yang tidak ada keraguan sedikit pun bagi orang yang meyakininya.

Jadi, ‘Aqidah Islamiyyah adalah keimanan yang teguh dan bersifat pasti kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dengan segala pelaksanaan kewajiban, bertauhid[2] dan taat kepada-Nya, beriman kepada Malaikat-malaikat-Nya, Rasul-rasul-Nya, Kitab-kitab-Nya, hari Akhir, takdir baik dan buruk dan mengimani seluruh apa-apa yang telah shahih tentang Prinsip-prinsip Agama (Ushuluddin), perkara-perkara yang ghaib, beriman kepada apa yang menjadi ijma’ (konsensus) dari Salafush Shalih, serta seluruh berita-berita qath’i (pasti), baik secara ilmiah maupun secara amaliyah yang telah ditetapkan menurut Al-Qur-an dan As-Sunnah yang shahih serta ijma’ Salafush Shalih. [3]

B. Objek Kajian Ilmu ‘Aqidah[4]
‘Aqidah jika dilihat dari sudut pandang sebagai ilmu -sesuai konsep Ahlus Sunnah wal Jama’ah- meliputi topik-topik: Tauhid, Iman, Islam, masalah ghaibiyyaat (hal-hal ghaib), kenabian, takdir, berita-berita (tentang hal-hal yang telah lalu dan yang akan datang), dasar-dasar hukum yang qath’i (pasti), seluruh dasar-dasar agama dan keyakinan, termasuk pula sanggahan terhadap ahlul ahwa’ wal bida’ (pengikut hawa nafsu dan ahli bid’ah), semua aliran dan sekte yang menyempal lagi menyesatkan serta sikap terhadap mereka.

Disiplin ilmu ‘aqidah ini mempunyai nama lain yang sepadan dengannya, dan nama-nama tersebut berbeda antara Ahlus Sunnah dengan firqah-firqah (golongan-golongan) lainnya.

• Penamaan ‘Aqidah menurut Ahlus Sunnah:
Di antara nama-nama ‘aqidah menurut ulama Ahlus Sunnah adalah:

1. Al-Iman
‘Aqidah disebut juga dengan al-Iman sebagaimana yang disebutkan dalam Al-Qur-an dan hadits-hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, karena ‘aqidah membahas rukun iman yang enam dan hal-hal yang berkaitan dengannya. Sebagaimana penyebutan al-Iman dalam sebuah hadits yang masyhur disebut dengan hadits Jibril Alaihissallam. Dan para ulama Ahlus Sunnah sering menyebut istilah ‘aqidah dengan al-Iman dalam kitab-kitab mereka. [5]

2. ‘Aqidah (I’tiqaad dan ‘Aqaa-id)
Para ulama Ahlus Sunnah sering menyebut ilmu ‘aqidah dengan istilah ‘Aqidah Salaf: ‘Aqidah Ahlul Atsar dan al-I’tiqaad di dalam kitab-kitab mereka.[6]

3. Tauhid
‘Aqidah dinamakan dengan Tauhid karena pembahasannya berkisar seputar Tauhid atau pengesaan kepada Allah di dalam Rububiyyah, Uluhiyyah dan Asma’ wa Shifat. Jadi, Tauhid merupakan kajian ilmu ‘aqidah yang paling mulia dan merupakan tujuan utamanya. Oleh karena itulah ilmu ini disebut dengan ilmu Tauhid secara umum menurut ulama Salaf.[7]

4. As-Sunnah
As-Sunnah artinya jalan. ‘Aqidah Salaf disebut As-Sunnah karena para penganutnya mengikuti jalan yang ditempuh oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para Sahabat Radhiyallahu anhum di dalam masalah ‘aqidah. Dan istilah ini merupakan istilah masyhur (populer) pada tiga generasi pertama.[8]

5. Ushuluddin dan Ushuluddiyanah
Ushul artinya rukun-rukun Iman, rukun-rukun Islam dan masalah-masalah yang qath’i serta hal-hal yang telah menjadi kesepakatan para ulama. [9]

6. Al-Fiqhul Akbar
Ini adalah nama lain Ushuluddin dan kebalikan dari al-Fiqhul Ashghar, yaitu kumpulan hukum-hukum ijtihadi.[10]

7. Asy-Syari’ah
Maksudnya adalah segala sesuatu yang telah ditetapkan oleh Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya berupa jalan-jalan petunjuk, terutama dan yang paling pokok adalah Ushuluddin (masalah-masalah ‘aqidah).[11]

Itulah beberapa nama lain dari ilmu ‘Aqidah yang paling terkenal, dan adakalanya kelompok selain Ahlus Sunnah menamakan ‘aqidah mereka dengan nama-nama yang dipakai oleh Ahlus Sunnah, seperti sebagian aliran Asyaa’irah (Asy’ariyyah), terutama para ahli hadits dari kalangan mereka.

• Penamaan ‘aqidah menurut firqah (sekte) lain:
Ada beberapa istilah lain yang dipakai oleh firqah (sekte) selain Ahlus Sunnah sebagai nama dari ilmu ‘aqidah, dan yang paling terkenal di antaranya adalah:

1. Ilmu Kalam
Penamaan ini dikenal di seluruh kalangan aliran teologis mutakallimin (pengagung ilmu kalam), seperti aliran Mu’tazilah, Asyaa’irah [12] dan kelompok yang sejalan dengan mereka. Nama ini tidak boleh dipakai, karena ilmu Kalam itu sendiri merupa-kan suatu hal yang baru lagi diada-adakan dan mempunyai prinsip taqawwul (mengatakan sesuatu) atas Nama Allah dengan tidak dilandasi ilmu.

Dan larangan tidak bolehnya nama tersebut dipakai karena bertentangan dengan metodologi ulama Salaf dalam menetapkan masalah-masalah ‘aqidah.

2. Filsafat
Istilah ini dipakai oleh para filosof dan orang yang sejalan dengan mereka. Ini adalah nama yang tidak boleh dipakai dalam ‘aqidah, karena dasar filsafat itu adalah khayalan, rasionalitas, fiktif dan pandangan-pandangan khurafat tentang hal-hal yang ghaib.

3. Tashawwuf
Istilah ini dipakai oleh sebagian kaum Shufi, filosof, orientalis serta orang-orang yang sejalan dengan mereka. Ini adalah nama yang tidak boleh dipakai dalam ‘aqidah, karena merupakan penamaan yang baru lagi diada-adakan. Di dalamnya terkandung igauan kaum Shufi, klaim-klaim dan pengakuan-pengakuan khurafat mereka yang dijadikan sebagai rujukan dalam ‘aqidah.

Penamaan Tashawwuf dan Shufi tidak dikenal pada awal Islam. Penamaan ini terkenal (ada) setelah itu atau masuk ke dalam Islam dari ajaran agama dan keyakinan selain Islam.

Dr. Shabir Tha’imah memberi komentar dalam kitabnya, ash-Shuufiyyah Mu’taqadan wa Maslakan: “Jelas bahwa Tashawwuf dipengaruhi oleh kehidupan para pendeta Nasrani, mereka suka memakai pakaian dari bulu domba dan berdiam di biara-biara, dan ini banyak sekali. Islam memutuskan kebiasaan ini ketika ia membebaskan setiap negeri dengan tauhid. Islam memberikan pengaruh yang baik terhadap kehidupan dan memperbaiki tata cara ibadah yang salah dari orang-orang sebelum Islam.” [13]

Syaikh Dr. Ihsan Ilahi Zhahir (wafat th. 1407 H) rahimahullah berkata di dalam bukunya at-Tashawwuful-Mansya’ wal Mashaadir: “Apabila kita memperhatikan dengan teliti tentang ajaran Shufi yang pertama dan terakhir (belakangan) serta pendapat-pendapat yang dinukil dan diakui oleh mereka di dalam kitab-kitab Shufi baik yang lama maupun yang baru, maka kita akan melihat dengan jelas perbedaan yang jauh antara Shufi dengan ajaran Al-Qur-an dan As-Sunnah. Begitu juga kita tidak pernah melihat adanya bibit-bibit Shufi di dalam perjalanan hidup Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para Sahabat beliau Radhiyallahu anhum, yang mereka adalah (sebaik-baik) pilihan Allah Subhanahu wa Ta'ala dari para hamba-Nya (setelah para Nabi dan Rasul). Sebaliknya, kita bisa melihat bahwa ajaran Tashawwuf diambil dari para pendeta Kristen, Brahmana, Hindu, Yahudi, serta ke-zuhudan Budha, konsep asy-Syu’ubi di Iran yang merupakan Majusi di periode awal kaum Shufi, Ghanusiyah, Yunani, dan pemikiran Neo-Platonisme, yang dilakukan oleh orang-orang Shufi belakangan.” [14]

Syaikh ‘Abdurrahman al-Wakil rahimahullah berkata di dalam kitabnya, Mashra’ut Tashawwuf: “Sesungguhnya Tashawwuf itu adalah tipuan (makar) paling hina dan tercela. Syaithan telah membuat hamba Allah tertipu dengannya dan memerangi Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya Shallallahu 'alaihi wa sallam. Sesungguhnya Tashawwuf adalah (sebagai) kedok Majusi agar ia terlihat sebagai seorang yang ahli ibadah, bahkan juga kedok semua musuh agama Islam ini. Bila diteliti lebih men-dalam, akan ditemui bahwa di dalam ajaran Shufi terdapat ajaran Brahmanisme, Budhisme, Zoroasterisme, Platoisme, Yahudi, Nasrani dan Paganisme.”[15]

4. Ilaahiyyat (Teologi)
Illahiyat adalah kajian ‘aqidah dengan metodologi filsafat. Ini adalah nama yang dipakai oleh mutakallimin, para filosof, para orientalis dan para pengikutnya. Ini juga merupakan penamaan yang salah sehingga nama ini tidak boleh dipakai, karena yang mereka maksud adalah filsafatnya kaum filosof dan penjelasan-penjelasan kaum mutakallimin tentang AllahSubhanahu wa Ta'alal menurut persepsi mereka.

5. Kekuatan di Balik Alam Metafisik
Sebutan ini dipakai oleh para filosof dan para penulis Barat serta orang-orang yang sejalan dengan mereka. Nama ini tidak boleh dipakai, karena hanya berdasar pada pemikiran manusia semata dan bertentangan dengan Al-Qur-an dan As-Sunnah.

Banyak orang yang menamakan apa yang mereka yakini dan prinsip-prinsip atau pemikiran yang mereka anut sebagai keyakinan sekalipun hal itu palsu (bathil) atau tidak mempunyai dasar (dalil) ‘aqli maupun naqli. Sesungguhnya ‘aqidah yang mempunyai pengertian yang benar yaitu ‘aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang bersumber dari Al-Qur-an dan hadits-hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam yang shahih serta Ijma’ Salafush Shalih.

C. Definisi Salaf (السَّلَفُ)
Menurut bahasa (etimologi), Salaf ( اَلسَّلَفُ ) artinya yang terdahulu (nenek moyang), yang lebih tua dan lebih utama [16]. Salaf berarti para pendahulu. Jika dikatakan (سَلَفُ الرَّجُلِ) salaf seseorang, maksudnya kedua orang tua yang telah mendahuluinya.[17]

Menurut istilah (terminologi), kata Salaf berarti generasi pertama dan terbaik dari ummat (Islam) ini, yang terdiri dari para Sahabat, Tabi’in, Tabi’ut Tabi’in dan para Imam pembawa petunjuk pada tiga kurun (generasi/masa) pertama yang dimuliakan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam:

خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِيْ ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ.

“Sebaik-baik manusia adalah pada masaku ini (yaitu masa para Sahabat), kemudian yang sesudahnya (masa Tabi’in), kemudian yang sesudahnya (masa Tabi’ut Tabi’in).”[18]

Menurut al-Qalsyani: “Salafush Shalih adalah generasi pertama dari ummat ini yang pemahaman ilmunya sangat dalam, yang mengikuti petunjuk Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan menjaga Sunnahnya. Allah memilih mereka untuk menemani Nabi-Nya Shallallahu 'alaihi wa sallam dan menegakkan agama-Nya...” [19]

Syaikh Mahmud Ahmad Khafaji berkata di dalam kitabnya, al-‘Aqiidatul Islamiyyah bainas Salafiyyah wal Mu’tazilah: “Penetapan istilah Salaf tidak cukup dengan hanya dibatasi waktu saja, bahkan harus sesuai dengan Al-Qur-an dan As-Sunnah menurut pemahaman Salafush Shalih (tentang ‘aqidah, manhaj, akhlaq dan suluk-pent.). Barangsiapa yang pendapatnya sesuai dengan Al-Qur-an dan As-Sunnah mengenai ‘aqidah, hukum dan suluknya menurut pemahaman Salaf, maka ia disebut Salafi meskipun tempatnya jauh dan berbeda masanya. Sebaliknya, barangsiapa pendapatnya menyalahi Al-Qur-an dan As-Sunnah, maka ia bukan seorang Salafi meskipun ia hidup pada zaman Sahabat, Ta-bi’in dan Tabi’ut Tabi’in.[20]

Penisbatan kata Salaf atau as-Salafiyyuun bukanlah termasuk perkara bid’ah, akan tetapi penisbatan ini adalah penisbatan yang syar’i karena menisbatkan diri kepada generasi pertama dari ummat ini, yaitu para Sahabat, Tabi’in dan Tabi’ut Tabi’in.

Ahlus Sunnah wal Jama’ah dikatakan juga as-Salafiyyuun karena mereka mengikuti manhaj Salafush Shalih dari Sahabat dan Tabi’ut Tabi’in. Kemudian setiap orang yang mengikuti jejak mereka serta berjalan berdasarkan manhaj mereka -di sepanjang masa-, mereka ini disebut Salafi, karena dinisbatkan kepada Salaf. Salaf bukan kelompok atau golongan seperti yang difahami oleh sebagian orang, tetapi merupakan manhaj (sistem hidup dalam ber‘aqidah, beribadah, berhukum, berakhlak dan yang lainnya) yang wajib diikuti oleh setiap Muslim. Jadi, pengertian Salaf dinisbatkan kepada orang yang menjaga keselamatan ‘aqidah dan manhaj menurut apa yang dilaksanakan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para Sahabat Radhiyallahu anhum sebelum terjadinya perselisihan dan perpecahan. [21]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah (wafat th. 728 H)[22] berkata: “Bukanlah merupakan aib bagi orang yang menampakkan manhaj Salaf dan menisbatkan dirinya kepada Salaf, bahkan wajib menerima yang demikian itu karena manhaj Salaf tidak lain kecuali kebenaran.” [23]

[Disalin dari kitab Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama'ah, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka Imam Asy-Syafi'i, Po Box 7803/JACC 13340A Jakarta, Cetakan Ketiga 1427H/Juni 2006M]
_______
Footnote
[1]. Lisaanul ‘Arab (IX/311: عقد) karya Ibnu Manzhur (wafat th. 711 H) t dan Mu’jamul Wasiith (II/614: عقد).
[2]. Tauhid Rububiyyah, Uluhiyyah, dan Asma’ wa Shifat Allah.
[3]. Lihat Buhuuts fii ‘Aqiidah Ahlis Sunnah wal Jamaa’ah (hal. 11-12) oleh Dr. Nashir bin ‘Abdul Karim al-‘Aql, cet. II/ Daarul ‘Ashimah/ th. 1419 H, ‘Aqiidah Ahlis Sunnah wal Jamaa’ah (hal. 13-14) karya Syaikh Muhammad bin Ibrahim al-Hamd dan Mujmal Ushuul Ahlis Sunnah wal Jamaa’ah fil ‘Aqiidah oleh Dr. Nashir bin ‘Abdul Karim al-‘Aql.
[4]. Lihat Buhuuts fii ‘Aqiidah Ahlis Sunnah wal Jamaa’ah (hal. 12-14).
[5]. Seperti Kitaabul Iimaan karya Imam Abu ‘Ubaid al-Qasim bin Sallam (wafat th. 224 H), Kitaabul Iimaan karya al-Hafizh Abu Bakar ‘Abdullah bin Muhammad bin Abi Syaibah (wafat th. 235 H), al-Imaan karya Ibnu Mandah (wafat th. 359 H) dan Kitabul Iman karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah (wafat th. 728 H), رحمهم الله .
[6]. Seperti ‘Aqiidatus Salaf Ash-haabil Hadiits karya ash-Shabuni (wafat th. 449 H), Syarah Ushuul I’tiqaad Ahlis Sunnah wal Jamaa’ah (hal. 5-6) oleh Imam al-Lalika-i (wafat th. 418 H) dan al-I’tiqaad oleh Imam al-Baihaqi (wafat th. 458 H), رحمهم الله.
[7]. Seperti Kitaabut Tauhiid dalam Shahiihul Bukhari karya Imam al-Bukhari (wafat th. 256 H), Kitaabut Tauhiid wa Itsbaat Shifaatir Rabb karya Ibnu Khuzaimah (wafat th. 311 H), Kitaab I’tiqaadit Tauhiid oleh Abu ‘Abdillah Muhammad bin Khafif (wafat th. 371 H), Kitaabut Tauhiid oleh Ibnu Mandah (wafat th. 359 H) dan Kitaabut Tauhiid oleh Muhammad bin ‘Abdil Wahhab (wafat th. 1206 H), رحمهم الله.
[8]. Seperti kitab as-Sunnah karya Imam Ahmad bin Hanbal (wafat th. 241 H), as-Sunnah karya ‘Abdullah bin Ahmad bin Hanbal (wafat th. 290 H), as-Sunnah karya al-Khallal (wafat th. 311 H) dan Syarhus Sunnah karya Imam al-Barbahari (wafat th. 329 H), رحمهم الله.
[9]. Seperti kitab Ushuuluddin karya al-Baghdadi (wafat th. 429 H), asy-Syarh wal Ibaanah ‘an Ushuuliddiyaanah karya Ibnu Baththah al-Ukbari (wafat th. 387 H) dan al-Ibaanah ‘an Ushuuliddiyaanah karya Imam Abul Hasan al-Asy’ari (wafat th. 324 H), رحمهم الله.
[10]. Seperti kitab al-Fiqhul Akbar karya Imam Abu Hanifah t (wafat th. 150).
[11]. Seperti kitab asy-Syarii’ah oleh al-Ajurri (wafat th. 360 H) dan al-Ibaanah ‘an Syarii’atil Firqah an-Naajiyah karya Ibnu Baththah.
[12]. Seperti Syarhul Maqaashid fii ‘Ilmil Kalaam karya at-Taftazani (wafat th. 791 H).
[13]. Ash-Shuufiyyah Mu’taqadan wa Maslakan (hal. 17), dikutip dari Haqiiqatuth Tashawwuf karya Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan bin ‘Abdillah al-Fauzan (hal. 18-19).
[14]. At-Tashawwuf al-Mansya’ wal Mashaadir (hal. 50), cet. I/ Idaarah Turjumanis Sunnah, Lahore-Pakistan, th. 1406 H.
[15]. Mashra’ut Tashawwuf (hal. 10), cet. I/ Riyaasah Idaaratil Buhuuts al-‘Ilmiyyah wal Iftaa’, th. 1414 H.
[16]. Lisaanul ‘Arab (VI/331) karya Ibnu Manzhur (wafat th. 711 H) rahimahullah.
[17]. Lihat al-Mufassiruun bainat Ta’wiil wal Itsbaat fii Aayatish Shifaat (I/11) karya Syaikh Muhammad bin ‘Abdurrahman al-Maghrawi, Muassasah ar-Risalah, th. 1420 H.
[18]. Muttafaq ‘alaih. HR. Al-Bukhari (no. 2652) dan Muslim (no. 2533 (212)), dari Sahabat ‘Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu anhu.
[19]. Al-Mufassiruun bainat Ta’wiil wal Itsbaat fii Aayatish Shifaat (I/11).
[20]. Al-Mufassiruun bainat Ta’-wiil wal Itsbaat fii Aayatish Shifaat (I/13-14) dan al-Wajiiz fii ‘Aqiidah Salafush Shaalih (hal. 34).
[21]. Mauqif Ahlis Sunnah wal Jamaa’ah min Ahlil Ahwaa' wal Bida’ (I/63-64) karya Syaikh Dr. Ibrahim bin ‘Amir ar-Ruhaili, Bashaa-iru Dzawi Syaraf bi Syarah Marwiyyati Manhajis Salaf (hal. 21) karya Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali dan Mujmal Ushuul Ahlis Sunnah wal Jamaa’ah fil ‘Aqiidah.

[22]. Beliau adalah Ahmad bin ‘Abdul Halim bin ‘Abdussalam bin ‘Abdillah bin Khidhir bin Muhammad bin ‘Ali bin ‘Abdillah bin Taimiyyah al-Harrani. Beliau lahir pada hari Senin, 14 Rabi’ul Awwal th. 661 H di Harran (daerah dekat Syiria). Beliau seorang ulama yang dalam ilmunya, luas pandangannya. Pembela Islam sejati dan mendapat julukan Syaikhul Islam karena hampir menguasai semua disiplin ilmu. Beliau termasuk Mujaddid abad ke-7 H dan hafal Al-Qur-an sejak masih kecil. Beliau rahimahullah mempunyai murid-murid yang ‘alim dan masyhur, antara lain: Syamsuddin bin ‘Abdul Hadi (wafat th. 744 H), Syamsuddin adz-Dzahabi (wafat th. 748 H), Syamsuddin Ibnu Qayyim al-Jauziyyah (wafat th. 751 H), Syamsuddin Ibnu Muflih (wafat th. 763 H) serta ‘Imaduddin Ibnu Katsir (wafat th. 774 H), penulis kitab tafsir yang terkenal, Tafsiir Ibnu Katsiir.

‘Aqidah Syaikhul Islam adalah ‘aqidah Salaf, beliau rahimahullah seorang Mujaddid yang berjuang untuk menegakkan kebenaran, berjuang untuk menegakkan Al-Qur-an dan As-Sunnah menurut pemahaman para Sahabat Radhiyallahu anhum tetapi ahlul bid’ah dengki kepada beliau, sehingga banyak yang menuduh dan memfitnah. Beliau menjelaskan yang haq tetapi ahli bid’ah tidak senang dengan dakwahnya sehingga beliau diadukan kepada penguasa pada waktu itu, akhirnya beliau beberapa kali dipenjara sampai wafat pun di penjara (tahun 728 H). Semoga Allah mengampuni dosa-dosanya, mencurahkan rahmat yang sangat luas dan memasukkan beliau rahimahullah ke dalam Surga-Nya. (Al-Bidayah wan Nihayah XIII/255, XIV/38, 141-145).
[23]. Majmu’ Fataawaa Syaikhil Islam Ibni Taimiyyah (IV/149).